Wednesday 20 October 2010

PEMANFAATAN TANAMAN SORGHUM UNTUK PEMBUATAN BIOETANOL MELALUI PROSES HIDROLISIS ENZIM DAN FERMENTASI SACCHAROMYCES CEREVISIAE

Produksi bioetanol dari biji sorghum menggunakan bakers yeast Saccharomyces cerevisiae dilakukan dalam culture batch. Tujuan percobaan ini adalah mempelajari pengaruh penambahan enzim α-amylase dan glucoamylase untuk menghasilkan glukose dan a berbagai konsentrasi glukose sebagai substrate mengkonversi menjadi etanol. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu dqlam liquifikasi, tepung sorghum slurry 2000 ml pada konsentrasi 10%- 30% (w/v) dan ditambah dengan CaCl2 0.15 g/l dihidrolisis menggunakan berbagai konsentrasi α-amylase (0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4%) pada 100oC dan pH 4.5-5 untuk 2 jam. Setelah itu, glukoamilase pada berbeda konsentrasi (0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4%) ditambahkan dan temperature dijaga pada 65oC dan pH 5-5.5 untuk 72 jam. Glukose diperoleh dari hidrolisis enzim kemudian difermentasi menggunakan yeast baker Saccharomyces cerevisiae untuk menghasilkan etanol dan CO2. Fermentasi dilakukan dalam Erlenmeyer 2000 ml. Kedalam Erlenmeyer, berbagai konsentrasi glukose (100, 145, 250 dan 275 g/l) dan yeast 0.2%, urea 0.5 %, dan KH2PO4 0.5% berat dari glukose ditambahkan. Media diinkubasikan pada temperatur kamar 28- 30oC untuk 72 jam. Sample diambil dua kali sehari. Hasil-hasil menunjukkan bahwa untuk liquifikasi, produksi glukose meningkat dengan peningkatan jumlah α-amylase ditambahkan. Menggunakan berbagai konsentrasi tepung sorghum untuk proses hidrolisis (10%, 20%, dan 30%), Yield glukose maksimum yang diperoleh adalah 94,87% (w/w) dengan konsentrasi tepung sorghum 10%, kemudian diikuti oleh tepung sorghum 20% dan 30% untuk menghasilkan yield glucose 93,56% dan 92,01%. Etanol maksimum yang diperoleh 11,08 % (v/v) menggunakan konsentrasi glukose 275 g/l. Yield etanol diperoleh dari tepung adalah 38,72% (v/w).Disimpulkan bahwa biji sorghum mempunyai potensil baik sebagai bahan baku untuk produksi etanol dimassa mendatang sebagai bahan bakar terbarukan.

Tanaman Sagu Sumber Karbohidrat dan Bioetanol

Tanaman sagu dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat, energi (bioetanol) dan konservasi sumber air, kata Badan Ketahanan Pangan (BKP) Maluku, Syuyadi Sabirin.



“Ini perlu dikelola dengan baik, apalagi Maluku memiliki habitat asli tanaman sagu terbesar kedua di Indonesia setelah Papua,” katanya di sela acara Seminar Internasional tentang Sagu dan Rempah-Rempah, di Ambon, Rabu.



Seminar yang dijadwalkan dua hari (28-29 Juli) tersebut dibuka oleh Menteri Pertanian Suswono dan dihadiri 100-an peserta dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Papua dan Papua Barat.



Menurut Syuryadi, di Maluku saat ini terdapat 31.000 lahan sagu dengan 3,1 juta pohon yang tersebar di tujuh kabupaten/kota, dengan tingkat produktivitas rata-rata 25 ton per tahun.



Selain sagu, Maluku juga memiliki komoditas spesifik lokasi penting lainnya seperti pala dan cengkeh yang nilai ekonominya terus meningkat selama dua tahun terakhir.



Luas lahan tanaman cengkeh di Maluku saat ini mencapai 35.481 hektare dengan jumlah produksi 13.081 ton per tahun. Sedangkan lahan pala ada 10.687 hektare dengan angka produksi 3.297 ton per tahun.



Menteri Pertanian H. Suswono dalam kesempatan itu juga mengatakan, penganekaragaman pangan perlu dilakukan untuk mendukung program Kementerian Pertanian, yakni mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras sebanyak 1,5 persen per tahun, yang dinilai sangat lambat pelaksanaannya.



“Pengolahan pangan yang berbasis pada sumberdaya lokal belum berkembang secara efisien,” kata Menteri.



Suswono menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi Dewan Ketahan Pangan yang dihadiri oleh seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia dan organisasi kemasyarakatan nasional maupun internasional di Jakarta, 24 Mei lalu telah mencanangankan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.



“Hal ini ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumbedaya Lokalguna mempercepat perncapaian standar dan kualitas konsumsi pangan masyarakat,” katanya.



Seminar internasional tentang sagu dan rempah-rempah menghadirkan Kopli Bujang dari Malaysia University, Hiroshi Ehara dari Mie University (Jepang), Bintoro Joefrie dari (Intitut Pertanian Bogor) IPB.



Selain itu, F.J. Rumahlatu dan T.D Pariella dari Universitas Pattimura (Unpatti), serta L. Muhuria dari Universitas Darussalam (Unidar) Ambon.



Hadir juga sebagai pembicara, Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, Kepala BKP RI Achmad Suryana, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal, Direktur Eksekutif Dewan Rempah Indonesia (DRI) Suhirman Muljodiharjo.



Cahya Widayanti dari Kementerian Perdagangan, Rieny Ariono dari Koperasi Jasa Boga Utama (JBU), Kepala Kadin Indonesia Juan Gondokusumo dan Destry Damayanti dari PT. Bank Maluku, Tbk.



Sumber : antaramaluku.com

Bioetanol yang diproduksi dari kayu

Lembaga Riset Kehutanan Nasional di bawah Departemen Kehutanan Korea berhasil mengembangkan teknologi untuk memproduksi bioetanol secara massal dengan penggunaan kayu sebagai bahan bakunya.

Teknologi ini dapat memisah-misahkan kayu dengan glukosa dalam waktu singkat untuk membuat bahan bakar, sehingga diharapkan teknologi itu mampu mengurangi proses dan waktu pembuatan serta menghemat biaya energi secara besar.







Bioetanol



Bioetanol berarti bahan bakar yang diekstrak dari tanaman termasuk tebu dan jagung. Bahan bakar itu dibuat melalui proses fermentasi dengan glukosa dari saripati tanaman. Bioetanol bisa dicampuri dengan bensin atau bisa digunakan sendiri sebagai bahan bakar untuk mobil. Bersama dengan biodiesel, bioetanol menjadi salah satu sumber energi utama yang bisa diperbarui. Berbeda dengan bioetanol yang diekstrak dari glukosa saripati tanaman, maka biodiesel diproduksi dari ekstrak tanaman kelapa sawit.

Salah satu keunggulan utama sumber energi yang bisa diperbarui seperti bioetanol dan biodiesel adalah karena diproduksi dari tumbuhan, sehingga emisi gas yang mengakibatkan pencemaran polusi serius amat kecil jika dibanding bahan bakar fosil.



Sumber : http://rki.kbs.co.kr

Friday 15 October 2010

RI Menaruh Harapan dari Ampas Sawit untuk Bioethanol

RI Menaruh Harapan dari Ampas Sawit untuk Bioethanol

Suhendra - detikFinance



Jakarta - Kementerian Perindustrian bersama New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang melakukan kerjasama riset (joint research) untuk pengembangan produksi bioethanol dari bahan baku bagasse (ampas sawit). Teknologi semacam ini pun belum terlalu berkembang di Jepang.



"Joint research teknologi pengolahan bagasse menjadi bioethanol yang dilakukan sebagai bagian dari proyek kerjasama ini diharapkan dapat mentransformasi agricultural waste jadi sumber bioethanol," kata Sekjen Kementerian Peridustrian Agus Tjahajana dalam acara MoU antara Kemenperin dengan NEDO di Jakarta, Senin (2/8/2010).



Agus menjelaskan potensi bagasse atau ampas sawit Indonesia sangat besar. Dari luasan 7 juta hektar saat ini mampu memproduksi 23 juta ton crude palm oil (CPO).



"Diperkirakan selama 10-15 tahun kedepan produksinya sampai 2-3 kali lipat," kata Agus.



Menurut Agus untuk bisa mensukseskan joint research dengan Jepang ini, maka ia mengarapkan peran perguruan tinggi dan lembaga riset nasional untuk pengembangan bioethanol dari bagasse.



"Dengan demikian makin banyak potensi Indonesia untuk mengembangkan bio massa menjadi bioethanol," katanya.



Sementara itu Direktur Kimia Hulu Aleksander Barus mengatakan saat ini pemerintah belum mampu menghitung berapa potensi pengembangan biothanol sebagai bahan bakar nabati dari bagasse namun dipastikan sangat besar sekali.



"Kalau produksi 23 juta ton menjadi ethanol, maka akan menjamin keamanan energi nasional. Memang kita belum hitung," katanya.



Ampas aja masih bisa di daur ulang ya, kalau mau sih sekarangpun bisa, Cangkang Sawit dijadikan bahan bakar Turbin demikian juga Pelepahnya.....nah tergantung PLN mau berbauat atau tidak memanfaatkan cangkang sawit ini sebagai bahan bakar Turbin

Banyak Turbn Nganggur di Kalimatan bekas perusahaan kayu lapis rata rata memiliki Turbin

Indonesia Berpotensi kembangkan BioEtanol

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Para peneliti mengatakan, sebagai negara yang kaya akan hasil produksi pertanian dan perkebunan, Indonesia berpotensi mengembangkan bioetanol sebagai bahan pengganti bensin.



Hal tersebut diungkapkan oleh anggota tim peneliti dari Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Teddy Nurcahyadi, di Yogyakarta, Jumat (25/9).



"Bahkan di masa depan, konversi bahan bakar ke bioetanol dapat menjadi solusi terhadap semakin menipisnya kandungan minyak bumi," ujar Teddy.



Menurutnya, bioetanol dapat menjadi pilihan dalam mengurangi kerusakan lingkungan sebagai efek samping berkembangnya dunia industri dan transportasi. Dia mengatakan, ada beberapa kelebihan yang dimiliki bioetanol dibanding bahan bakar bensin, antara lain karena proses produksi lebih ramah lingkungan dan melibatkan penanaman tumbuhan yang menyerap karbon dioksida di atmosfer. Selain itu, pemakaian bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, lanjut Teddy, lebih ramah lingkungan karena menghasilkan polusi yang lebih sedikit.



"Bioetanol juga memiliki angka oktan yang lebih tinggi daripada bensin sehingga jika dicampurkan pada bensin dengan komposisi tertentu bisa memperbaiki kinerja mesin," katanya.



Dia menambahkan, tingginya angka oktan bioetanol memiliki pengaruh yang bagus terhadap emisi gas buang mesin. Angka oktan yang tinggi menyebabkan pembakaran di dalam mesin berlangsung lebih sempurna sehingga hasil pembakaran yang tidak sempurna berupa karbon monoksida dan hidrokarbon tak terbakar lainnya berkurang.



"Pencampuran bioetanol pada bensin berdasarkan hasil pengujian terbukti menyebabkan turunnya polusi karbon monoksida dan hidrokarbon tak terbakar dari mesin bensin," katanya.



Bioetanol, katanya, merupakan salah satu jenis bahan bakar terbarukan. Bahan bakar ini dapat diproduksi dari berbagai jenis produk pertanian atau perkebunan, seperti tebu, singkong, beras, gandum, sorgum, kentang, jagung, dan buah-buahan.



"Selama kita masih bisa bercocok tanam, selama itu pula kita bisa mengolah aneka produknya menjadi bioetanol," katanya.



Namun, Teddy mengakui, bioetanol memang mempunyai kelemahan yang bersifat teknis. Kelemahan itu muncul karena bahan bakar tersebut memiliki kandungan energi yang lebih rendah daripada bensin.



"Jalan keluar untuk mengatasi kelemahan itu sudah ada, tim kami tertarik melakukan penelitian dalam upaya mengatasi kelemahan teknis bioetanol agar bahan bakar itu dapat dimanfaatkan lebih maksimal di masa depan," katanya.



Anak SMA Temukan Kelapa Hasilkan Bioetanol dan Biogas

Jakarta - Ternyata kelapa tidak hanya bisa menghasilkan biosolar, namun bioetanol pun bisa dihasilkan dari ampas dan air kelapa, bahkan limbah dari bioetanol kelapa ini masih bisa dimanfaatkan sebagai campuran biogas.



Hal itu merupakan hasil penelitian dari tiga anak SMA Negeri 2 Pare, Kediri, Jawa Timur, yakni Muh. Wildan Yahya, Ardhy Purwo, dan Diana Sekar Sari yang memenangkan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) ke-41 bidang Ilmu Pengetahuan Teknik yang diselenggarakan LIPI.



Menurut Wildan yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/10), biofuel ada tiga macam yakni biosolar yang merupakan campuran antara solar dengan minyak nabati yang telah dimetilasi, bioetanol yang merupakan alkohol yang dihasilkan dari fermentasi, sedangkan biogas dihasilkan dari penguraian biomassa secara anaerob oleh bakteri methanogenesis.



Saat ini, ujarnya, pembuatan biosolar, bioetanol dan biogas dilakukan secara terpisah, di mana biosolar dari minyak perasan kelapa sawit, bioetanol dari tebu atau singkong yang difermentasi dan biogas dari kotoran ternak.



"Padahal ketiganya bisa dihasilkan dari buah kelapa (Cocos Nucifera) yang diolah secara bertingkat," ujar juara I LKIR dari karya berjudul: "Optimalisasi Produksi Biofuel dari Kelapa dengan Pengolahan Bertingkat" itu.



Menurut Wildan, kelapa yang melimpah di Indonesia bisa diperas dan menghasilkan minyak nabati berupa biosolar di mana untuk satu liter biosolar membutuhkan 0,48 kg buah kelapa.



Ampasnya, lanjut dia, jangan dibuang, karena masih memiliki selulosa dalam jumlah besar dan tinggal dilakukan hidrolisis dengan larutan asam dan difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae.



Demikian pula air kelapa, bisa ditambah sedikit urea sebelum fermentasi, dan jika kadar gula tak sampai 17 persen, maka bisa ditambah glukosa atau sukrosa.



Dengan ampas kelapa 6,56 kg bisa menghasilkan seliter bioetanol berkadar 95 persen, sedangkan bagi seliter air kelapa, sebanyak 11,4 persennya bisa menjadi bioetanol, ujarnya.



Limbah bioetanol ini, lanjut Wildan, jika dicampur kotoran sapi bisa menjadi biogas dengan lebih dulu dilakukan penetralan pH.



"Dari 100 liter limbah bioetanol menghasilkan 2,5 m3 biogas. Limbah biogas juga bisa dijadikan pupuk," tambahnya.

Ganggang Air Bisa Dijadikan Bioetanol

Saat ini bioetanol banyak dipakai sebagai pengganti bahan bakar minyak. Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, berhasil meneliti ganggang air alias alga bisa dipakai sebagai bahan pembuatan bioetanol. Untuk satu liter bioetanol, hanya butuh 0,67 kilogram Algae spirogyra.



Para mahasiswa ITS itu adalah Sulfahri dan Eko Sunarto dari Jurusan Biologi FMIPA, serta Siti Mushlihah dan Renia Setyo Utami dari Teknik Lingkungan FTSP. Mereka mulai melakukan penelitian sejak April lalu yang didanai hibah Dikti dan menemukan kelebihan Algae spirogyra jika diolah menjadi bioetanol.



Lewat penelitian, mereka membuktikan kalau alga lebih efisien dijadikan bioetanol dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol dibutuhkan 8 kg ubi jalar atau 6,5 kg singkong atau 5 kg jagung. Namun, untuk hasil yang sama, dengan Algae spirogyra hanya diperlukan 0,67 kg.



Sulfahri menyebutkan tertarik meneliti alga karena selama ini bioetanol banyak dihasilkan dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, dan ubi jalar. Padahal, bahan-bahan ini masih dibutuhkan sebagai penopang bahan pangan. Sementara alga tersebar di mana-mana dan kandungan karbohidratnya lebih tinggi ketimbang jagung atau umbi-umbian.



Algae spirogyra atau ganggang air yang dipakai sebagai penelitian adalah yang hijau berbentuk benang. Alga yang tersusun atas sel-sel yang membentuk untaian panjang seperti benang ini berkembang biak secara vegetatif dengan cara fragmentasi dan perkembangbiakan secara generatif dengan konjugasi



Algae spirogyra memiliki kandungan karbohidrat hingga 64 persen. Karbohidrat dibutuhkan dalam proses fermentasi yang menghasilkan bioetanol. Alga cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan lahan luas. Selain itu, proses fermentasi juga lebih cepat.



Pengolahan diawali dengan pengeringan manual di bawah terik matahari (lebih kurang tiga hari) atau dikeringkan dalam oven. Setelah kering dicampur air dengan perbandingan 1:15. Lalu dihancurkan dengan blender atau mesin.



Selanjutnya dipanaskan atau proses hidrolisis sekitar dua jam dan didinginkan dalam suhu hingga 4 derajat celsius. Untuk membantu proses fermentasi, ditambahkan enzim aminase. "Proses fermentasi 10 hari memiliki hasil lebih baik," kata Eko.



Untuk mendapatkan bioetanol, dilakukan destilasi. "Hasil dan kualitas tak kalah jika dibandingkan dengan bioetanol bahan lain," tegas Sulfahri.



Kebutuhan BBM nasional bisa dipenuhi lewat produksi bioetanol. Hingga Maret 2008, kebutuhan BBM Indonesia mencapai 1,3 juta barrel per hari, padahal produksi BBM nasional hanya sekitar 900.000 barrel per hari. Sementara total produksi bioetanol Indonesia hingga 30 Juni 2008 hanya sekitar 160.000 kiloliter.



Sumber : Kompas

Rumus Kimia Bioetanol

BioEtanol, etanol yang dibuat oleh makhluk hidup



Termasuk dalam Metabolisme Anaerob (tanpa oksigen) atau orang awam menyebutnya fermentasi



reaksi dimulai dari glukosa (C6H12O6) menjadi etanol (C2H5OH)



ceritanya:



1. glukosa langsung diubah menjadi asam piruvat oleh bantuan bakteri Saccharomyces cereviceae



oleh bakteri Saccharomyces cereviceae

C6H12O6 ===============================>> C2H5OH + CO2 + 2ATP

(bioetanol)

Bahan Bakar Bioetanol dari Limbah Salak

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengembangkan kompor berbahan bakar bioetanol yang terbuat dari limbah salak.



"Bioetanol sebagai bahan bakar pengganti minyak maupun elpiji terbuat dari limbah salak yang cacat panen atau busuk," kata mahasiswa UGM yang mengembangkan kompor bioetanol, Adhita Sri Prabakusuma, Senin (11/10/2010).



Ia mengatakan, selama ini salak yang tidak layak jual tersebut sering dibuang oleh para petani salak atau dibiarkan membusuk di pekarangan kebun salaknya.



"Di Dusun Ledoknongko, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DIY, yang merupakan salah satu sentra penghasil salak dalam satu bulan dihasilkan sekitar 1-3 ton limbah salak," katanya.



Menurut dia, dari 10 kilogram limbah salak, dihasilkan sedikitnya 1 liter bioetanol. Untuk membuat bioetanol, limbah salak difermentasikan lebih dulu selama satu pekan dengan menambah ragi dan urea.



"Cairan fermentasi tersebut dipanaskan dengan suhu 70 derajat celsius pada tabung destilasi. Hasil pemanasan ini nantinya menghasilkan bioetanol," katanya.



Namun, menurut dia, belum banyak masyarakat di Dusun Ledoknongko yang mau mengolah limbah salak menjadi bahan bakar kompor.



"Tidak mudah menyosialisasikan inovasi tersebut karena tingkat pendidikan masyarakat di Dusun Ledoknongko berbeda-beda. Apalagi ini barang baru, secara ekonomis memang belum memuaskan secara langsung," katanya.



Ia mengatakan, inovasi tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengatasi limbah salak, mendukung program pertanian terpadu, dan menerapkan energi ramah lingkungan.



"Kecamatan Turi sebagai sentra penghasil salak di DIY dapat diinisiasi sebagai desa mandiri energi yang mengembangkan pertanian berkelanjutan dan terpadu," katanya.

Proses Destilasi Pembuatan etanol

Panduan Peluang Bisnis Bioetanol I Tutorial Berbisnis Bioetanol

Bioetanol, biodiesel Biofuel dan Dampaknya Pada Masyarakat Global

Thursday 14 October 2010

Produksi Bioetanol

Teknologi produksi Bioetanol berikut ini diasumsikan menggunakan jagung sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain, terutama molase.



Secara umum, produksi Bioetanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.



Persiapan Bahan Baku



Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya.



Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:



- Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula

- Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik

- Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (liquefaction) dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan.



Tahap Liquefaction memerlukan penanganan sebagai berikut:



- Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur

- Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim

- Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat

- Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90 C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.



Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut:



- Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja

- Pengaturan pH optimum enzim

- Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat

- Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 60 C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan)



Fermentasi



Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan menghasilkan etanol dan CO2.



Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan.



Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.

Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi.



Distilasi



Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol).

Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air adalah 100 C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.



Prosentase Penggunaan Energy



Prosentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam tabel berikut ini:



Prosentase Penggunaan Energi



Identifikasi

Proses Steam

Listrik



Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan

0 %

6.1 %



Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi

30.5 %

2.6 %



Produksi Enzim Amilase

0.7 %

20.4 %



Fermentasi

0.2 %

4 %



Distilasi

58.5 %

1.6 %



Etanol Dehidrasi (jika ada)

6.4 %

27.1 %



Penyimpanan Produk

0 %

0.7 %



Utilitas

2.7 %

27 %



Bangunan

1 %

0.5 %



TOTAL

100 %

100 %



Sumber:

A Guide to Commercial-Scale Ethanol Production and Financing, Solar Energy Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401



PERALATAN PROSES



Adapun rangkaian peralatan proses adalah sebagai berikut:



- Peralatan penggilingan

- Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi

- External Heat Exchanger

- Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)

- Tangki Penampung Bubur

- Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor

- Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol

- Boiler, termasuk system feed water dan softener

- Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting

- Tangki penyimpan air hangat, termasuk pompa dan pneumatik

- Pompa Utilitas, Kompresor dan kontrol

- Perpipaan dan Electrikal

- Peralatan Laboratorium

- Lain-lain, termasuk alat-alat maintenance



Sumber :

Achmad N Hidayat - Nawapanca Engineering

http://www.migas-indonesia.com dalam :

http://www.indobiofuel.com/Bioethanol.php

25 Mei 2009

Empat Varietas Ubikayu Berpotensi Dukung Industri Bioetanol

Untuk mendorong penyediaan bahan baku industri Bioetanol, Badan Litbang Pertanian melalui Puslitbang Tanaman Pangan telah menghasilkan teknologi produksi ubikayu yang mencakup penyiapan lahan dan bibit; pola, waktu dan cara tanam; pengendalian erosi; populasi tanaman dan jarak tanam; pengenalian gulma; pemupukan; pengendalian hama dan penyakit; dan panen. Sedangkan untuk mendukung bahan baku industri Bioetanol sendiri, varietas yang disarankan adalah yang mempunyai karakteristik : a) berkadar pati tinggi, b) potensi hasil tinggi, c) tahan tekanan cekaman biotik dan abiotik, serta d) fleksibel dalam usahatani dan umur panen.



Dari enam belas varietas unggul ubikayu yang telah dilepas Departemen Pertanian, ada empat varietas yang memiliki karakter sesuai dengan kriteria tersebut yaitu : Varietas Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5. Adira-4 memiliki kandungan pati 25-30%, tahan penyakit layu, potensi hasil 25-40 ton/ha dan umurnya 8 bulan. Sedangkan varietas Malang-6 memiliki kandungan pati 25-32%, potensi hasil 36,4 ton/ha dan agak tahan hama kutu merah serta mempunyai umur 9 bulan. Varietas UJ-3 memiliki kandungan pati 25-30%, potensi hasil 30-40 ton/ha, tahan penyakit bakteri dan umur mencapai 8 bulan. Adapun varietas UJ-5 memiliki kadar pati 20-30%, potensi hasil 25-38 ton/ha, tahan penyakit bakteri dan mempunyai umur 9-10 bulan.



Varietas Adira-4 telah meluas pengembangannya di beberapa sentra produksi ubikayu. Di Kediri Jawa Timur, hasil Adira-4 berkisar 26-41 ton/ha dan di Lampung 30-41 ton/ha. Selain umurnya genjah, Adira-4 ini tahan terhadap penyakit layu, yang merupakan penyakit penting ubikayu, disamping dapat dikembangkan dalam pola tumpangsari. Hasil penelitian di Bogor, varietas Adira-4 yang ditumpangsarikan dengan kacang tanah dan jagung masih mampu mencapai hasil 31,0 ton/ha dan di Lampung 39,2 ton/ha. Dalam usahatani komersial, ubikayu harus menghasilkan 20-25 ton/ha agar menguntungkan, yaitu dengan B/C rasio lebih dari 1,0. Angka ini dapat dicapai jika harga ubikayu di tingkat petani Rp. 250-300/kg,



Info teknologi produksi

Informasi tentang teknologi produksi ubikayu untuk mendukung industri Bioetanol itu sendiri sebenarnya telah dituangkan dalam bentuk buku dengan judul "Teknologi Produksi Ubikayu Mendukung Industri Bioetanol" sejak tahun lalu. Buku tersebut disusun oleh para peneliti, antara lain J. Wargiono. Selain memuat teknologi produksi yang mampu menghasilkan produksi 40 ton/ha, buku ini menyertakan varietas-varietas yang cocok untuk industri Bioetanol serta strategi peningkatan produksinya. Buku tentang teknologi ubikayu ini dapat dijadikan acuan dalam upaya mempercepat pencapaian target produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri Bioetanol dalam program pemanfaatan bahan bakar nabati.



Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id

Wednesday 13 October 2010

Mobil Bioetanol Kapan Melaju Massal di Jalan Raya?

Siapa bilang Indonesia belum siap di bidang bahan bakar alternatif? Satu lagi solusi menarik, bahan bakar bioethanol untuk kendaraan roda empat, bahkan sudah ada kendaraan yang layak menggunakannya.

Jepang atau negara maju lain silakan saja berbangga sudah memiliki kendaraan ramah ling-kungan produksi sendiri. Seperti mobil Honda Civic Hybrid yang sengaja dirancang dengan sistem hibrid, paduan antara bensin dan listrik. Indonesia sesungguhnya juga sudah mampu mengembangkan teknologi bahan bakar alternatif serupa. Bahan bakar hibrid alias paduan antara premium dengan bioethanol.

“Kita akan menguji coba bahan bakar premium yang dipadu dengan bioethanol juga pada mobil ini. Jika memang layak, maka ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu bagaimana peningkatan kinerja bahan bakar dan tingkat emisinya,” ujar Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kepada pers di sela acara Serah Terima Mobil Sistem Hibrid Honda di Karawang, Jawa Barat, Jumat (10/2).

Lebih Ramah
Selama ini Balai Termodinamika, Motir dan Propulsi (BTMP) BPPT sudah me-ngembangkan bahan bakar hibrid jenis lain, yakni paduan premium dengan bioethanol. Perbandingan paduan tersebut sejauh ini baru dilakukan 90:10 atau 70:30. Bahan bakar hybrid ini sudah mampu dioperasikan pada kendaraan roda empat jenis Blazer dan Honda Jazz. “Saya sendiri memakainya, yakni paduan premium dan bioethanol 90:10 atau biasa disebut B10,” ungkap Ir. Nila Damitri MSc, Kepala BTMP kepada SH dalam kesempatan serupa.

Kalau memang terealisasi, maka bahan bakar premium-bioethanol akan lebih ramah lingkungan sebab bioethenol berasal dari alam yang tak mengandung bahan kimia. Berarti pada proses pembakarannya tidak menghasilkan karbon. Semakin besar kandungan bioethanolnya, maka makin ramah lingkungan bahan bakar tersebut., sebab emisinya juga mengecil.

Bioethanol yang digunakan oleh Mila berasal dari Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) di Lampung. Bahan bakunya adalah tanaman singkong. Etanol adalah bahan yang dihasilkan oleh bakteri yang berfermentasi dan melebur dengan zat gula karbohidrat seperti tepung jagung. Proses ini sudah berlangsung lama nyaris seusia dengan alam dan tidak ada imbas negatifnya bagi umat manusia..

“Ada yang sudah memakainya sampai 30 persen, bahkan ada juga yang 100 persen,” ungkap Mila. Sayang penggunanya masih terbatas pada para peneliti yang memang sudah menguji coba bahan bakar tersebut. Dan bioethanol yang mereka dapat pun cuma-cuma alias gratis.

Kendala
Lalu mengapa bahan bakar bioethanol tidak dijual secara komersil saja jika memang cukup bagus kualitasnya? Menurut Mila, sampai sekarang memang belum ada kebijakan pemerintah yang menetapkan bioethanol sebagai bahan bakar komersil. Kalaupun ada tentu akan diperlukan penetapan tariff yang membutuhkan diskusi panjang di kalangan industri. Selain itu harus dipikirkan pula produksi bioethanol secara massal kalau memang bahan tersebut akan dipasarkan.

Kendala-kendala seperti itulah yang membuat bahan bakar bioethanol masih belum dipakai banyak orang. Agus Cahyono, staf BTMP-BPPT mengakatan bahwa sampai sekarang memang belum ada ketetapan harga jual bioethanol, sebab bahan itu memang belum dipasarkan. “Kalau biaya produksinya saja berkisar antara Rp 3.000-3.500 per liter,” ungkap Agus.

Bioethanol sebagai bahan bakar kendaraan sudah banyak dipakai di negara lain. Salah satu pengguna bioethanol terbesar adalah Brasilia. Di Indonesia sendiri agaknya penggunaan bioethanol masih membutuhkan jalan panjang berliku. Sebab terbetik kabar dibangun pabrik etanol pertama di Indonesia oleh PT Medco Energi International Tbk. Proyek senilai US$ 34,13 juta ini akan didirikan di Kotabumi, Lampung Utara tahun ini juga. Sayangnya hasilnya tidak untuk kepentingan dalam negeri, melainkan untuk diekspor ke Singapura dan Jepang.

Tanggal Tayang : 15-6-2006
Sumber : Sinar Harapan

Bioethanol, Alternatif Energi Terbarukan: Kajian Prestasi Mesin dan Implementasi di Lapangan

Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan - paling sedikit Edua ancaman serius: (1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya (2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajad kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan. Alkohol untuk bahan bakar Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di USA dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40ecara nasional (Nature, 1 July 2005). Di USA, bahan bakar relatif murah, E85, yang mengandung ethanol 85emakin populer di masyarakat (Nature, 1 July 2005). Selain ethanol, methanol juga tercatat digunakan sebagai bahan bakar alkohol di Rusia (Wikipedia), sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup Jepang telah mentargetkan pada tahun 2008 campuran gasolin + ethanol 10kan digunakan untuk menggantikan gasolin di seluruh Jepang. Kementrian yang sama juga meminta produsen otomotif di Jepang untuk membuat kendaraan yang mampu beroperasi dengan bahan bakar campuran tersebut mulai tahun 2003 (The Japan Times, 17 December 2002). Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Negara Riset dan Teknologi telah mentargetkan pembuatan minimal satu pabrik biodiesel dan gasohol (campuran gasolin dan alkohol) pada tahun 2005-2006. Selain itu, ditargetkan juga bahwa penggunaan bioenergy tersebut akan mencapai 30ari pasokan energi nasional pada tahun 2025 (Kompas, 26 Mei 2005). Ethanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai campuran untuk bahan bakar gasolin (bensin) maupun hidrogen. Interaksi ethanol dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi fuel cell ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional. Pada tulisan ini, dibahas secara singkat: (1) dampak penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam dengan penyalaan busi (spark ignition), dan (2) implementasi bahan bakar ethanol di Brazil -negara yang telah serius menggunakan bahan bakar ethanol. Penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam Dewasa ini, hampir seluruh mesin pembangkit daya yang digunakan pada kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam. Mesin bensin (Otto) dan diesel adalah dua jenis mesin pembakaran dalam yang paling banyak digunakan di dunia. Mesin diesel, yang memiliki efisiensi lebih tinggi, tumbuh pesat di Eropa, sedangkan komunitas USA yang cenderung khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada diesel, lebih memilih mesin bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang digunakan di Eropa sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi sulfur dan UHC. Ethanol yang secara teoritik memiliki angka oktan di atas standard maksimal bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan pada mesin bensin. Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan penggunaan ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin. Ethanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7 ( Yuksel dkk, 2004). Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh gasolin (pun setelah ditambahkan aditif tertentu pada gasolin). Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88 (Website Pertamina) (catatan: tidak tersedia informasi motor octane untuk gasolin di Website Pertamina, namun umumnya motor octane lebih rendah daripada research octane). Angka oktan pada bahan bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya menghindari terbakarnya campuran udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-ignition). Terbakarnya campuran udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum waktunya akan menimbulkan fenomena ketuk (knocking) yang berpotensi menurunkan daya mesin, bahkan bisa menimbulkan kerusakan serius pada komponen mesin. Selama ini, fenomena ketuk membatasi penggunaan rasio kompresi (perbandingan antara volume silinder terhadap volume sisa) yang tinggi pada mesin bensin. Tingginya angka oktan pada ethanol memungkinkan penggunaan rasio kompresi yang tinggi pada mesin Otto. Korelasi antara efisiensi dengan rasio kompresi berimplikasi pada fakta bahwa mesin Otto berbahan bakar ethanol (sebagian atau seluruhnya) memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar gasoline ( Yuksel dkk, 2004), (Al-Baghdadi, 2003). Untuk rasio campuran ethanol:gasoline mencapai 60:40tercatat peningkatan efisiensi hingga 10 Yuksel dkk, 2004). Ethanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang inheren di dalam molekul ethanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara-bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3 - 19 voldibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 - 7.6 vol pembakaran campuran udara-bahan bakar ethanol menjadi lebih baik -ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni sekitar 4 dkk, 2004). Ethanol juga memiliki panas penguapan (heat of vaporization) yang tinggi, yakni 842 kJ/kg (Al-Baghdadi, 2003). Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol lebih besar dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran ethanol dibandingkan dengan gasolin. Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer akan membentuk NO2 yang bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif rendahnya temperatur puncak pembakaran ethanol di dalam silinder. Pada rasio kompresi 7, penurunan emisi NOx tersebut bisa mencapai 33ibandingkan terhadap emisi NOx yang dihasilkan pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang sama (Al-Baghdadi, 2003). Dari susunan molekulnya, ethanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek dibandingkan gasolin (rumus molekul ethanol adalah C2H5OH, sedangkan gasolin memiliki rantai C6-C12 (Wikipedia) dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1 (Rostrup-Nielsen, 2005)). Pendeknya rantai atom karbon pada ethanol menyebabkan emisi UHC pada pembakaran ethanol relatif lebih rendah dibandingkan dengan gasolin, yakni berselisih hingga 130 ppm (Yuksel dkk, 2004). Dari paparan di atas, terlihat bahwa penggunaan ethanol (sebagian atau seluruhnya) pada mesin Otto, positif menyebabkan kenaikan efisiensi mesin dan turunnya emisi CO, NOx, dan UHC dibandingkan dengan penggunaan gasolin. Namun perlu dicatat bahwa emisi aldehyde lebih tinggi pada penggunaan ethanol Emeski bahaya emisi aldehyde terhadap lingkungan adalah lebih rendah daripada berbagai emisi gasolin ( dkk, 2004). Selain itu, pada prinsipnya emisi CO2 yang dihasilkan pada pembakaran ethanol juga akan dipergunakan oleh tumbuhan penghasil ethanol tersebut. Sehingga berbeda dengan bahan bakar fosil, pembakaran ethanol tidak menciptakan sejumlah CO2 baru ke lingkungan. Terlebih untuk kasus di Indonesia, dimana bensin yang dijual Pertamina masih mengandung timbal (TEL) sebesar 0.3 g/L serta sulfur 0.2 wtWebsite Pertamina), penggunaan ethanol jelas lebih baik dari bensin. Seperti diketahui, TEL adalah salah satu zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan angka oktan bensin -dan zat ini telah dilarang di berbagai negara di dunia karena sifat racunnya. Keberadaan sulfur juga menjadi perhatian di USA dan Eropa karena dampak yang ditimbulkannya bagi kesehatan. Ethanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastik (Wikipedia). Oleh karena itu, ethanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi. Dianjurkan untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai pengganti komponen karet pada mesin Otto konvensional. Selain itu, molekul ethanol yang bersifat polar akan sulit bercampur secara sempurna dengan gasolin yang relatif non-polar, terutama dalam kondisi cair. Oleh karena itu modifikasi perlu dilakukan pada mesin yang menggunakan campuran bahan bakar ethanol-gasolin agar kedua jenis bahan bakar tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang bakar. Salah satu inovasi pada permasalahan ini adalah pembuatan karburator tambahan khusus untuk ethanol (Yuksel dkk, 2004). Pada saat langkah hisap, uap ethanol dan gasolin akan tercampur selama perjalanan dari karburator hingga ruang bakar Ememberikan tingkat pencampuran yang lebih baik. Studi kasus penggunaan bahan bakar ethanol di Brazil Brazil mencanangkan program bahan bakar ethanol dalam skala besar sejak terjadinya krisis minyak pada era 1970-an (Riberio dkk, 1997). Ethanol diekstrak dari tebu (sugarcane). Bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi gula / ethanol, yakni bagasse, digunakan pula sebagai bahan bakar untuk distilasi ethanol dan untuk menghasilkan listrik Ebaik untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik ethanol serta dijual ke masyarakat. Pembakaran bagasse relatif ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar minyak dan batu bara. Kandungan abu bagasse hanya 2.5dibandingkan batu bara: antara 30-50 dan bagasse juga tidak mengandung sulfur (Wikipedia). Dengan menggunakan bagasse, pabrik ethanol tidak memerlukan asupan energi dari luar, justru dia bisa menjual sisa listrik yang dihasilkannya ke masyarakat. Terlebih karena hal tersebut terjadi di musim panas, manakala pembangkit listrik tenaga air tidak bisa maksimal dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat (Wikipedia). Posisi program bahan bakar ethanol dan produk sampingnya di Brazil pada periode 2003/2004 (kecual disebutkan lain) adalah: Areal pertanian : 45,000 m2 pada tahun 2000 Pekerja : 1 juta pekerjaan -(50ertani, 50emrosesan) Sugarcane : 344 juta ton (50-50 untuk gula dan alkohol) Gula : 23 juta ton (30ieksport) Ethanol : 14 juta m3 (7.5 anhydrous, 6.5 hydrated; 2.4ieksport) Bagasse kering : 50 juta ton Listrik dihasilkan : 1350 MW (1200 MW dipergunakan pabrik ethanol, 150 MW dijual ke masyarakat) pada tahun 2000 Sumber: Wikipedia *Sebagai perbandingan, PLTU Suralaya yang merupakan pemasok sekitar 25ebutuhan listrik Jawa-Bali memiliki kapasitas 3,400 MW (Sumber: Miningindo). Penggunaan bahan bakar ethanol (murni ataupun campuran dengan gasolin) diperhitungkan telah menekan emisi CO2 di Brazil dari tahun 1995-2010 sebesar 293 ton (hipotesis rendah) hingga 461 ton (hipotesis tinggi). Ini berarti emisi CO2 tahunan yang bisa dikurangi di Brazil adalah sekitar 12ila menggunakan hipotesis tinggi (Riberio dkk, 1997). Implementasi bahan bakar ethanol di Brazil tidak selamanya berjalan mulus. Dukungan politik dan insentif pemerintah diperlukan guna keberlanjutan program tersebut. Di awal implementasi program penggunaan bahan bakar ethanol, yakni di era 1980-an, lebih dari 90obil yang terjual di Brazil adalah mobil yang berbahan bakar khusus ethanol (Riberio dkk, 1997). Namun tidak lancarnya pasokan ethanol di awal 1990-an menyebabkan penjualan mobil yang sama hanya mencapai kurang dari 1i tahun 1997 (Riberio dkk, 1997). Pada tahun 1997, hanya separuh dari seluruh jumlah mobil di Brazil yang menggunakan bahan bakar khusus ethanol, sedangkan sisanya menggunakan campuran gasolin + ethanol (hingga 22(Riberio dkk, 1997). Sedangkan saat ini, seperti dikemukakan di awal, 40asokan energi di Brazil berasal dari bioethanol (Nature, 1 July 2005). Pengaruh terhadap lingkungan Beberapa ilmuwan Amerika penentang implementasi bioethanol mengangkat permasalahan lingkungan yang dimunculkan oleh mata rantai produksi bioethanol. Ilmuwan tersebut menyoroti praktek pembakaran ladang guna memudahkan panen tebu, kerusakan tanah akibat ancaman terhadap keanekaragaman hayati, penggunaan air dalam jumlah besar untuk membersihkan sugarcane, serta erosi tanah yang disebabkan praktek penanaman tebu (Nature, 1 July 2005). Selain itu, beberapa kalangan juga mempertanyakan rasio antara energi yang dihasilkan terhadap energi yang diperlukan dalam produksi ethanol yang hanya mencapai 1.1 (Rostrup-Nielsen, 2005). Untuk meminimalkan dampak negatif mata rantai produksi ethanol, pemerintah Brazil telah mengeluarkan aturan yang melarang pembakaran ladang sebelum panen tebu; dan sebagai gantinya digunakan mesin pemanen untuk memudahkan dan mempercepat panen (Wikipedia). Menilai implementasi ethanol secara kuantitatif, seperti yang dipraktekkan di Brazil, seharusnya juga perlu diperhitungkan faktor produk samping berupa bagasse yang menghasilkan listrik (dalam jumlah signifikan) serta efek pengurangan emisi CO2 yang berkorelasi positif terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Dalam kasus penggunaan bahan bakar hidrogen, Jacobson dkk (2005) memperkirakan bahwa sekitar 3,700 - 6,400 orang per tahun akan terselamatkan bila seluruh kendaraan bermotor di USA bermigrasi menggunakan bahan bakar hidrogen yang dibangkitkan dari energi angin. Oleh karena itu, bila factor-faktor tersebut turut diperhitungkan, nampaknya penggunaan bioethanol akan lebih superior terhadap gasolin. Sedangkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati mungkin bisa dipecahkan dengan menggunakan beberapa tanaman sebagai sumber ethanol. Meski relatif lebih menyulitkan dalam pengaturannya, praktek multikultur tersebut diharapkan akan menekan penurunan kualitas tanah secara radikal. Kesimpulan Dua ancaman serius yang muncul akibat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, yakni: faktor ekonomi (keterbatasan eksplorasi yang berakibat pada suplai, harga; dan fluktuasinya), serta faktor polusi bahan bakar fosil yang merugikan lingkungan hidup, mau tidak mau memaksa umat manusia untuk memikirkan alternatif energi yang lebih terjamin pengadaannya serta ramah terhadap lingkungan. Gasohol adalah salah satu alternatif yang memungkinkan transisi ke arah implementasi energi alternatif berjalan dengan mulus. Dari sisi teknik pembangkitan daya dan emisi gas buang, ethanol (dalam bentuk murni ataupun campuran) relatif superior terhadap gasolin. Penggunaan ethanol sebagai bahan bakar pada mesin pembakaran dalam akan meningkatkan efisiensi mesin, serta menurunkan kadar emisi gas yang berbahaya bagi lingkungan (relatif terhadap gasolin). Produk samping berupa listrik, serta dampak penurunan emisi CO2 merupakan dua nilai tambah yang sangat berkontribusi positif terhadap lingkungan hidup. Terdapat beberapa hal yang bisa dipelajari dari Brazil dalam implementasi bahan bakar bioethanol, yakni: (1) Perlunya diversifikasi sumber ethanol untuk menghindari penurunan kualitas tanah secara radikal (2) Implementasi bahan bakar bioethanol lebih baik dimulai dari pencampuran gasoline + ethanol, bukan dari penggunaan bioethanol 100Hal tersebut akan menjamin transisi ke arah bioenergy secara lebih mulus Esembari menyiapkan secara lebih matang seandainya era penggunaan bioethanol 100ipandang sudah tiba (3) Perlunya kerjasama yang erat dengan pihak industri otomotif untuk menyediakan kendaraan yang optimal bagi implementasi bahan bakar gasoline + ethanol (4) Perlu sinergi antar instansi serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka penyediaan bahan baku, pemrosesan, serta distribusi bahan bakar bioethanol. Tanggal Tayang : 15-6-2006 Sumber : Berita Iptek

Ethanol on Modern Marvels